Pernah dengar istilah Teenlit kan ? Kalau teman-teman yang gila baca,
pasti udah nggak asing dan pasti udah ngeh banget apa itu Teenlit.
Sekitar tahun 2000 genre yang satu ini mulai marak mewarnai dunia
percetakan dan semakin menambah koleksi literatur baik di toko-toko buku
se-level Gramedia dan Gunung Agung maupun di etalase supermaket semacam
Indomart dan Alfamart dan tentunya di perpustakaan. Mulai dari cetakan
yang hanya 80an halaman sampai yang 300an halaman dengan cover yang
simple nan elegan sampai yang meriah pernuh warna.
Teenlit adalah singkatan dari Teen Literature merupakan sastra
populer bertema kehidupan remaja dengan segala macam kisah yang memang
dialami oleh remaja pada umumnya, mulai dari sulitnya proses mencari
jati diri sampai dengan saat-saat fall in love dengan berbagai macam
ramuan bumbunya.
Ciri Teenlit yang lain adalah gaya bahasanya menggunakan bahasa gaul
dengan istilah-istilah yang aneh bagi our parent dan rangkaian kalimat
yang diramu dengan bahasa ke-englih-english-an gitu. Gaya bahasa dalam
Teenlit memang harus disesuai dengan gaya bahasa remaja.
Teenlit yang pernah ngetop diera 70an
antara lain ‘Ali Topan Anak Jalanan’ karya Teguh Esha dan ‘Roman
Picisan’ karya Eddy Iskandar. Beranjak pada era 90an yang paling ngetop
abiezzz adalah serial ‘Lupus’ yang merupakan nama tokoh utama yang
identik dengan permen karet karya Hilman Hariwijaya.
novel, Era 2000an kisah yang dituangkan dalam Teenlit sudah lebih bervariasi
dan bisa dibilang high-end. Sebut saja ‘Eiffel I’m in Love’ karya
Rachmania Arunita yang terjual lebih dari 50 ribu eksemplar yang
kemudian difilmkan dengan Samuel Rizal dan Shandy Aulia sebagai tokoh
utamanya.
Pernah nonton film ‘Dealova’ yang soundtracknya
… Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu
Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu
Karena langkah merapuh tanpa dirimu ………… ?
Nah, film tersebut juga diangkat dari Teenlit karya Dyan Nuranindya yang
ditulisnya sejak masih kelas 2 SMP. Sekedar info, novel ‘Dealova’
terjual 10 ribu eksemplar hanya dalam waktu sebulan.
Maria Adelia atau yang akrab dipanggil Mardel menulis ‘Aku vs Sepatu
Hak Tinggi’ ketika masih SMA yang konon kabarnya hanya ditulis dalam
waktu dua bulan saja. Tahun 2004, novel ini diterbitkan oleh Gramedia
Pustaka Utama dan sukses dipasaran. Kesuksesan tersebut membuat karyanya
di-filmkan dan juga ada versi sinetronya. Lebih hebat lagi, Mardel
dipercaya untuk menulis sendiri skenarionya untuk film tersebut.
‘Beautiful Stranger’nya Sasya Fitriana, ‘Cinta Adisty’ karya Gisantia
Bestari maupun ‘Lukisan Hujan’ karya Sitta Karina juga layak dijadikan
referensi atau mungkin sekedar dibaca. Masih ada puluhan bahkan mungkin
ratusan judul Teenlit yang telah dicetak dan dipasarkan. Coba saja
ketikkan kata kunci ‘teelit’ pada http://www.images.google.co.id
maka akan muncul cover-cover Teenlit dengan judul yang sangat variatif,
aneh atau bahkan yang terkesan asal nabrak aja semacam ‘Ratu Jeruk
Nipis‘, ‘Lovasket’ maupun ‘Uglyphibia’.
So… ketika menyebut macam judul Teenlit, maka jangan sampai
mengusulkan judul semacam tetraloginya Andrea Hirata dengan ‘Laskar
Pelangi’, ‘Sang Pemimpi’, ‘Edensor’, ‘Maryamah Karpov’, ‘Sang
Pelopor’nya Suminaring Prasojo, ‘Senopati Pamungkas’nya Arswendo
Atmowoloto yang jumlah halamannya mencapai 3000 lembar dan jangan pula
menyebut ‘Gajah Mada’ karya Kresna Hadi, pun demikian ‘Cinta
Bertasbih’nya Habiburahman el Sirazy jangan pula diusulkan untuk masuk
dalam himpunan Teenlit.
Teenlit memang karya anak muda yang sedang tren saat ini, namun
demikian perlu juga dicermati pendapat sebagian kalangan yang
beranggapan bahwa karya ini adalah karya yang terlalu ringan. Sama
sekali tidak mengangkat fenomena krusial dalam masyarakat. Teenlit juga
dianggap hanya menawarkan sisi manis kehidupan, sesuatu yang tidak bisa
dianggap sebagai kondisi global masyarakat Indonesia. Gugatan demikian
pada satu sisi memang ada benarnya. Kalau kita bandingkan, misalnya
dengan novel ‘Bunga’ karya Korrie Layun Rampan, teenlit jelas tidak
seimbang. Korrie tidak sekadar menyajikan dengan bahasa yang taat
kaidah, tapi juga indah. Isu yang diangkat juga cenderung lebih kaya dan
berbobot. Selain itu, Teenlit juga dianggap sebagai genre yang
merusakkan bahasa.
Meskipun ragam lisan menjadikan Teenlit sangat dekat dengan
pembacanya yang notabene merupakan remaja, ragam itu cenderung tidak
disajikan dengan daya didik yang tinggi. Malah keberadaan bahasa
Indonesia terkesan tidak terencana dan tidak terpola dengan baik.
Termasuk pula keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan yang
dipandang tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali. Selain itu,
dari segi politik bahasa nasional, novel Teenlit dianggap tidak
memedulikan bahasa Indonesia.
Dari segi isi, Teenlit juga dituduh sebagai genre yang menganggap
bahwa nilai-nilai pergaulan seperti di Barat (berciuman dengan lawan
jenis, membicarakan seks, pesta-pesta) wajar-wajar saja diterapkan. Maka
yang ditampilkan ialah warna-warni kehidupan yang meniru gaya Barat.
Sehingga rok pendek dan baju ketat turut menjadi tren masa kini.
Demikianlah kira-kira gugatan yang disampaikan lewat sebuah Debat Sastra
yang diselenggarakan di Universitas Nasional, tentang Teenlit.
Bagi yang kebetulan novelaholic, dapat pula menyanggah gugatan tersebut
karena meski dinilai miring oleh sejumlah kalangan, kehadiran Teenlit
bukannya tanpa nilai positif. Selain membakar semangat para penulis muda
untuk berani berekspresi, Teenlit terbukti mampu meramaikan dunia
perbukuan di Indonesia. Terlebih lagi, dengan membanjirnya jenis bacaan
yang sangat mudah dicerna ini, minat baca remaja turut meningkat.
Teenlit juga cukup berhasil mengangkat kehidupan remaja (meski masih
terbatas pada remaja perkotaan) ke permukaan, sekaligus menawarkan
alternatif jati diri.
0 komentar:
Posting Komentar